SuratKabar99, Korea Selatan - Kematian bintang K-pop Korea Selatan, Kim Jong-hyun yang dikenal dengan Jonghyun, menggegerkan dunia hiburan internasional. Kematiannya menambah daftar selebritas yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di puncak karir.
Sampai Sekarang belum diketahui pasti apa alasan anggota boyband SHINee ini mengakhiri hidupnya.
Namun berdasarkan laporan yang di kumpul pihak kepolisiaan, dalam catatannya, Jonghyun mengaku telah ''Depresi''. Industri hiburan Korea Selatan memang dikenal akan "kontrak perbudakan" yang mengatur nyaris seluruh aspek kehidupan selebritas: mulai dari makan hingga pacar, di samping harus bekerja gila-gilaan sampai 18 jam sehari.
Namun, Joghyun bukanlah orang tenar pertama yang bunuh diri di kala popularitas masih melambung tinggi.
Pada Agustus 2014 lalu, aktor peraih Oscar, Robin Williams, tewas gantung diri di rumahnya di Paradise Cay, California.
Sang istri, Susan Schneider, menyebut komedian berusia 63 tahun itu mengalami "kepikunan" yang membuat Williams baru saja menyelesaikan syuting sekuel film box office Night at the Museum dan A Merry Friggin' Christmas, mengalami paranoia.
Selanjutnya, designer papan atas dunia, Alexander McQueen, ditemukan gantung diri dirumahnya di London pada Februari 2010. David LaChapelle yang dikenal sebagai sahabat McQueen menyebutkan bahwa dia "kecanduan narkoba dan sangat tidak bahagia".
Sebulan setelah kematiannya, karya terakhir McQueen, yaitu koleksi musim gugur/dingin 2010 diperagakan di Paris Fashion Week, koleksi yang disebut banyak kritikus sebagai salah satu "mahakarya" di dunia fashion.
Musisi legendaris, saat itu Kurt Cobain berumur 27 tahun yang telah menciptakan genre musik grunge, ditemukan tewas setelah menembak kepalanya sendiri pada April 1994
Berdasarkan laporan dari orang dekatnya mengatakan bahwa Cobain mengalami kecanduan alkohol/narkoba, depresi dan ketidakstabilan emosi bahkan sebelum populer bersama Nirvana.
Sejumlah selebritis lainnya meninggal dunia karena keracunan pil tidur, narkoba atau alkohol yang disulut depresi. Mereka di antaranya adalah Whitney Houston, Heath Ledger, Amy Winehouse dan Marilyn Monroe.
Psikolog Roslina Verauli mengatakan bahwa para selebritas kerap disalahpahami. Mereka dianggap punya segala-galanya, padahal hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja, sehingga hidup mereka "penuh kehampaan".
"Apa yang bisa membuat kita bertahan sehari-hari? Jawabannya adalah kita punya keluarga yang bisa kita temui, teman yang betul-betul peduli sama kita, dan orang-orang yang bisa kita ajak bicara dengan mendalam. Sementara selebritis besar mati bunuh diri karena mereka sendirian," tutur Roslina.
Dia menyebut, kehilangan relasi mendalam dengan orang dekat, tidak adanya waktu untuk diri sendiri dan bahkan untuk beristirahat, membuat sejumlah selebritas kehilangan "kontributor kesejahteraan emosional atas kebahagian".
Alhasil, "sebagian kebahagiaan" para pesohor hilang tergerogoti dan menjadi depresi.
Lalu bagaimana dengan fans yang mengelu-elukan mereka? Apakah hubungan antara idola dan fans memuaskan secara emosional? Menurut Roslina, relasi dengan fans, "dangkal" dan terkadang 'palsu'.
Fans hanya mengelukan mereka di depan panggung, tetapi ketika kembali ke kamarnya, para selebritis hanyalah individu tunggal yang kesepian.
Kesepian membuat pesohor rentan bunuh diri karena ditambah "tingginya tekanan pada mereka untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Sementara kendali mereka atas karyanya kecil. Bisa saja mereka sudah menghabiskan segala energi dan waktu, kemudian merasa sudah bikin karya bagus, tetapi fans bilang tidak. Ini bisa sangat melukai hati mereka."
Lebih tegas lagi, Roslina menyatakan orang yang sangat populer, termasuk untuk profesi di luar dunia hiburan, ambang frustasinya rendah.
"Misalnya ketika album pertama mereka laku sejuta kopi, lalu yang kedua cuma 500 ribu kopi, itu bikin frustasi. Orang awam kan mengiranya masih banyak. Namun, buat dia ketika tidak diapresiasi seperti yang diharapkan, ada penurunan jumlah fans, atau perubahan respons orang atas karyanya, itu bisa bikinfrustrasi dan depresi."
Popularitas dan kekayaan yang dimiliki para orang terkenal membuat mereka juga lebih gampang mengakses materi yang berpeluang membuat dorongan untuk melakukan bunuh diri semakin besar. Alkohol dan narkoba adalah dua di antaranya.
Kepala koordinator organisasi yang fokus menghapus stigma soal bunuh diri, Into the Light, Benny Prawira, mengungkapkan kecanduan alkohol atau narkoba, depresi dan perilaku bunuh diri, "memiliki hubungan yang sangat kompleks". Benny menyebut ketiga unsur itu sebagai "segitiga monster".
''Kita harus tahu dalam setiap kasus bunuh diri yang mana yang muncul duluan. Kadang, si selebritis itu awalnya tidak menggunakan zat (alkohol/narkoba), tetapi karena tuntutan kerja dia akhirnya depresi dan mulai mengkonsumsi zat. Mungkin awal-awal membantu, tetapi ketika kecanduan, efeknya bisa menimbulkan gejala bunuh diri."
Di sisi lain, Benny menambahkan bisa saja seorang selebritas itu menggunakan narkoba atau mengkonsumsi alkohol karena zat itulah yang dalam pergaulan mereka, diklaim "ampuh mengatasi stress pekerjaan".
Penggunaan narkoba berpotensi mempengaruhi kesadaran dan mengubah mood dan bisa berujung depresi dan berakhir bunuh diri
Benny mengatakan bahwa tekanan yang dialami para selebritas tidaklah gampang. Kerja keras yang mereka lakukan hingga mencapai puncak karir, kerap tidak berbalas kebahagiaan malah berujung kesepian, seperti yang disampaikan Roslina.
"Mereka memilih cara yang menyakitkan untuk mengakhiri hidup mereka, yang mungkin memang jauh lebih menyakitkan lagi. Karena ternyata kondisi lingkungan mereka, memang tidak sesehat yang kita kira, karena tuntutan kepada mereka juga memang banyak."
Roslina dan Benny meminta mereka yang berada di puncak karir untuk meluangkan waktu pulang ke keluarga, bertemu teman yang sebenarnya, karena semua manusia dinilai membutuhkan itu.
"Kita makhluk sosial dan kita baru bisa menjadi manusia yang utuh karena interaksi mendalam dengan orang lain," kata Roslina.